Phobia or ???
Cast: Lee ByungHyun (L.Joe)
Lee Chan Hee (Chunji)
Choi Jong Hyun (Changjo)
Aku mengobrak-abrik tumpukan kasetku. ̶ Aku sedang membersihkan
rumahku saat ini. Ya, tadi malam memang aku dan teman-temanku berpesta.
Krakk. Sebuah kaset terjatuh tepat di depanku. Aku menatap bingung
dengan satu kaset yang bertuliskan ‘With Angel’. Aku mulai menonton berbagai
gambar yang disuguhkan oleh kaset itu. Aku tersenyum kecil melihat sosoknya dan
aku yang lain sedang bercengkrama. Semua itu terlihat nyata. Tak ada kebohongan
sedikitpun. Namun, bagaimana ia bisa melakukan semua itu dengan lancar. Ughh.
Kepalaku sakit.
Aku termenung untuk beberapa saat. Aku lagi-lagi tersenyum miris.
Semua ini bagaikan hanya sebuah mimpi belaka. Semua potongan gambar yang
kulihat bagaikan hanya sebuah mimpi indah. Semuanya telah berakhir. Aku takut.
Takut semua ini akan terulang kembali. Aku mulai mencengkram kepalaku erat.
Sakit.
Aku bangkit dari dudukku. Menyambar cepat jacket yang sengaja
kuletakkan di sisi kamar. Mencoba mengabaikan dingin yang menusuk kulitku satku
telah sampai di depan jalanan rumahku. Dan mencoba melupakan semua.
“Hyung?”
Aku menoleh untuk memastikan suara yang mengintrupsiku untuk
menoleh.
“Wae?”
Anak kecil itu menatapku dalam diam yang lama. Ingin aku
meninggalkannya. Namun, aku penasaran, untuk apa ia memanggilku.
“H-hyung” kulihat ia sedikit gugup sambil memainkan jari-jari
mungilnya. “Mianhae hyung. Ige” ia menaruh sebuah kotak kecil di tanganku.
Belum sempat aku berucap anak kecil itu sudah hilang entah kemana.
Aku tidak begitu peduli dengan kotak yang ada di tanganku. Aku
bergegas untuk pergi melanjutkan perjalananku. Tak jauh dari tempat aku bertemu
dengan anak kecil itu, aku menemukan sebuah boneka Teddy Bear yang terlihat
masih bagus. Manis. Hanya itu yang ada di kepalaku. Dengan cepat aku mulai mengambil
boneka yang tergeletak di tengah jalan itu sambil tersenyum kecil.
Disinilah aku berhenti, aku mengunjungi sebuah taman bermain yang
terlihat benar-benar kumuh. Aku sudah tidak pernah datang lagi kesini,
seingatku begitu. Oh, tolong jangan buat aku mengingat kejadian lampau. Itu
membuatku sakit.
Aku mencoba untuk memutar sebuah komedi putar yang sudah sedikit
berdebu itu. Aku menuju ruang kontrol saat aku sudah selesai membersihkan
debu-debu yang ada.
Aku tersenyum kecil saat komedi putar itu bergerak sesuai. Namun,
gerakannya berhenti. Panik yang kurasakan menjalar di tubuhku aku melihat
sosoknya ̶ sosok yang tadi kulihat di TV rumahku ̶ di balik asap yang mengepul
di sekeliling komedi putar itu. Aku terdiam. Lututku lemas aku tak bisa
menopang tubuhku lagi. sakit.
Gelap. Lampu-lampu mati seketika. Untuk kesekian kalinya aku terdiam.
Sebuah kenangan bersama sosok itu tiba-tiba muncul dalam otakku lagi. Aku
takut. Aku tidak mengerti siapa dia. Apa hubungannya denganku.
“My angel. My angel. Cheonsagateun neo. You’re like an angel” aku meracau
lirih sambil memeluk erat boneka beruang yang sedari tadi aku pegang saat
sampai di taman bermain.
=3=
Aku terbangun dalam lelapku. Aku tak ingat sudah berapa lama aku
pingsan. Aku tidak tahu aku di mana. Yang aku tahu ini bukan rumahku.
Aku mulai menatap sekeliling. Ada satu pintu. Kuharap pintu itu
dapat membawaku pergi dari tempat ini setidaknya membawaku kembali ke rumahku.
Aku memasuki ruangan itu dengan perlahan agar tidak menimbulkan
suara. Gelap, tapi tidak sepenuhnya gelap. Ada secercah cahaya yang membuatku
tetap bertahan di ruangan aneh ini.
Aku mencoba menuju sumber cahaya itu, berharap jika cahaya itu
adalah matahari yang akan membawaku keluar dari tempat gelap ini. Aku berhenti
saat kurasa aku sudah cukup dekat dengan cahaya itu. Aku mulai meneliti siapa
orang memancarkan sinarnya itu ̶ menurutku begitu. Aku kenal dia. Sosok yang akhir-akhir
ini mengganggu pikiranku.
Dia menjauh. Aku mencoba mendekatinya sedikit berlari kecil. Aku
mencoba meraih tangannya. Datar. Hanya sebuah cermin yang aku pegang. Dimana
sosoknya. Apa aku berhalusinasi lagi.
Aku mulai berlari kecil mencari pintu keluar. Ruangan ini
benar-benar seperti sebuah labirin. Membingungkan dan tak ada ujungnya.
“Come to me now”
Suara itu. Aku menuju sumber suara itu. lagi-lagi aku dibuat
terpaku. Sosoknya tengah mengerlingkan sebelah matanya ke arahku. Aku
mengejarnya untuk kedua kalinya.
Brakk. Aku memukul cermin di depanku. Tak peduli sakit yang
kurasakan di tangan. Aku melihat darah segar keluar dari tanganku. Aku merasa
di bohongi lagi. Tak terasa air mata meluncur bebas dari kedua mataku.
Gelap. Tidak. Jangan gelap lagi. kenapa tempat ini seolah
menghimpitku? Sungguh, aku tak sanggup kali ini. Penyakit ini benar-benar
membunuhku.
=3=
Aku terbangun. Dan untuk kedua kalinya aku terbangun bukan di rumah
sakit ataupun di rumahku. Aku terbangun di sebuah rumah mewah. Aku beharap apa
yang ku alami hanyalah sebuah mimpi yang tak menjadi kenyataan. Dan aku
berharap ada pintu yang bisa berhubungan langsung dengan rumahku.
Kalian harus tahu. Aku benci penyakitku. Karena penyakitku aku tak
bisa menatap gelap. Tak bisa mencoba untuk mengejar sosok yang terus
menggangguku itu. lebih tepatnya sosok yang membuatku sakit. Karena aku yakin
sosok itu ada dalam kehidupanku yang lalu.
Aku menderita Claustrophobia dari kecil. Aku sudah tahu itu sejak
lama. Dan phobiaku menambah satu yaitu, Mnemophobia. Begitu, kata dokter Choi.
Bunyi perutku memecahkan keheningan. Sungguh, aku lapar. Sudah
berapa lama aku tidak makan. Oh, jangan paksa aku untuk mengingat.
Aku merogoh saku jacketku berharap ada makanan disana. namun, aku
salah. Bukan makanan yang ada melainkan kotak kecil.
“Kotak ini kan ̶”
Aku mencengkram erat leherku dan kepalaku. Sakit. Tidak. Jangan
sekarang. biarkan aku mengingat kenanganku. Takut. Aku takut. Kenangan.
=3=
Apalagi kali ini. Aku terbangun di sebuah hutan belantara. Apa aku
di buang dari rumah mewah itu. Aku ingin kembali kerumahku.
Suara piano mengalun lembut. Aku sedikit tersentak dibuatnya. “Kotak
ini berbunyi”
“Byunghee? Untuk apa kau di sini?”
Aku tersentak kaget untuk kedua kalinya. Aku menatap sosok di
depanku bingung.
“Byunghee. Saranghae” sosok itu berhambur memelukku erat. Aku
bingung. Kumohon, jangan buat aku mengingat kenanganku. Ini benar-benar
membuatku sakit.
“Byunghee. Kumohon, jawab aku. Maafkan aku. Sungguh. Aku tak ada
niat sedikitpun padamu”
Kulihat manik mata indahnya mulai berair. Tidak, jangan menangis.
Kenapa ia menangis karenaku.
Ia makin terisak dalam dekapku. Setelah kuamati dalam. Ternyata
wajahnya sangat familiar di mataku. Aku ingat, sosok malaikat di depanku ini.
Sosok yang selama ini mengganggu pikiranku.
Sekelebat memori bersamanya tiba-tiba berputar di kepalaku.
Semuanya. Aku ingat. Dan. Sudah kuduga penyakit ini datang lagi. kumohon,
buatlah aku mengingat kenangan indahku bersamanya agar aku tak membuatnya
menangis seperti sekarang ini.
“Byunghee? Andwae Byunghee” suara ini. Aku ingat. Kau malaikatku.
=3=
Aku mulai mengerjabkan kedua mataku. Aku ada di rumah. Apa aku
hanya bermimpi. Aku masih dalam posisi yang sama. Terduduk di depan laptopku
dan tumpukkan kaset. Bukankah aku sedang mengerjakan tugas ah tidak lebih tepat
sedang menonton. Jangan-jangan aku memang bermimpi. Tapi, ini sangat nyata.
Aku mencoba bangkit dari dudukku. Aku mulai berendam dalam bathub
yang berisi air hangat. Aku mulai memainkan busa yang berlimpah yang di
hasilkan oleh sabun.
“Byunghee?”
Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku mulai melihat
sekeliling. Tidak ada siapapun. Aku mencoba menenangkan diri dengan menutup
kedua mataku. Tidak. Aku tidak suka gelap. Sungguh.
“Byunghee?”
Sungguh, suara ini benar-benar membuatku gila. Aku mulai mengambil
handuk yang terletak tak jauh dari bathub. Aku menatap cermin yang ada di kamar
mandiku. Entahlah, aku seolah mendengar suara yang menarikku untuk berada di
sini saat ini.
Cklik. Gelap. Aku tercengang menatap datar cermin. Kenapa
penyakitku tidak datang lagi. maksudku, bukannya aku menginginkan penyakit itu
datang setiap saat. Tapi, bukankah ini sesuatu yang mengherankan.
Cklik. Lampu kamar mandiku menyala redup. Tidak, bukan lampu kamr
mandiku. Tapi, cermin itu yang menyinari kegelapan ini. Sekarang, aku tidak
lagi kaget. Sudah cukup aku kaget karenanya. Walaupun agak mengherankan mengapa
ia ada di dalam cerminku dengan cahaya di sekelilingnya.
“Byunghee?”
Cklik. Gelap. Aku mencengkram leher dan kepalaku erat. Tidak,
cengkramanku terhadap kepalaku terlepas paksa. Dinding rumahku ini seolah
menghimpitku secara perlahan namun pasti.
=3=
“Hyung? Kau tak apa kan? Kenapa kau tak bangun? aku merindukanmu
hyung”
Aku menggeliat kecil di kasur yang sudah kupastikan kasur rumah
sakit. Ku lirik sosok pemuda imut di samping ranjangku.
“Ricky?”
“Hyung. Kau sudah sadar? Syukurlah. Kukira kau tadi kenapa ̶”
Aku sengaja memotong pembicaraannya. “Tunggu. Bolehku bertanya
sesuatu padamu?” Dia mengangguk yakin. “Siapa yang membawaku kesini?”
Kulihat dia menghela napas bosan. “Hyung. Dengar. Kita tadi setelah
berpesta di rumahmu. Dan kau yang membersihkan rumahmu. Namun, kau malah jatuh
pingsan. Beruntung, aku dan Changjo menemukanmu. Akhirnya kita membawamu kemari
hyung. Begitu”
Aku sedikit membulatkan mataku. Apa yang dia bicarakan? Bukankah
aku sudah tiga kali atau empat kali terbangun dengan keadaan yang berbeda? Apa
itu semua mimpi? Tidak mungkin. Tidak. Fikiranku benar-benar ngelantur.
“Kulihat kau butuh banyak istirahat hyung. Padahal kau sudah lima
hari pingsan”
Aku melihat Ricky yang sedikit mencemaskanku. Apa katanya? Lima
hari? Ini gila.
=3=
Aku pulang ke rumah. Setelah, mendengar kata dokter yang
mengizinkanku pulang. Hei, bukannya aku ini tidak sakit? Untuk apa rawat inap?
Ku lihat rumahku di setiap sudut. Sudah ku perkirakan tidak ada
perubahan. Benar kata Ricky. Rumahku tidak tersentuh sama sekali.
Aku membuka pintu kayu eboni kamarku. Benar-benar tidak ada
perubahan. Aku melirik sekilas ke arah kasurku. Sebuah buku?
“Sejak kapan aku menulis diary?”
Mungkin saat kau membaca ini. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi
Maafkan aku
Semua ini salahku. Coba saja aku tidak mempermainkan perasaanmu
mungkin tidak seperti ini. Aku sudah tahu sekarang. ternyata hanya kau yang
tulus mencintaiku. Bukan Changjo. Aku minta maaf. Ku harap kau mau memaafkanku
dan kita akan bersama lagi.
With Love, Chunji.
Aku terdiam berusaha mencerna setiap bait kata yang di tulis.
“Changjo?” aku bergumam pelan. “Apa hubungannya dengan Changjo? Dan, siapa
Chunji? Dia sudah mati. Bagaimana aku bisa menemukannya?”
=3=
“Changjo-ah. kau tahu Chunji?”
Kulihat Changjo sedikit terkejut. Namun, ia berusaha menyembunyikan
keterkejutannya. Ini membuatku benar-benar curiga.
“Ke-kenapa kau ber-bertanya tentang Chunji?” dia sedikit gugup.
“Aku hanya mau bertanya. Di suatu buku aku bertemu kata Chunji.
Jika itu sebuah nama itu sangat indah untuk”
Changjo menggigit bibirnya gugup. “Bagaimana ya? Kau benar ingin
tahu?”
Aku menghela napas kecil. Aku mulai melancarkan serangan agar ia
mau mengaku siapa yang bernama Chunji.
“Tolong jangan tatap aku seperti itu hyung”
Aku masih melancarkan seranganku padanya. Aku sudah hapal betul di
mana titik lemahnya. Karena ia ini bukan sosok pemuda yang main fisik. Ya,
walau ku akui fisiknya cukup bagus. Tapi, aku tidak ada ketertarikan padanya
sungguh.
“Arraseo” Aku menyeringai kecil. “Begini. Chunji itu mantanku”
Chunji. Berbagai memori muncul di kepalaku. Saat aku memeluknya,
berfoto, saat aku bersamanya. Aku ingat. Dia Chunji. Lee Chan Hee.
Pening lagi-lagi kurasakan. Aku takut. Aku. Sangat. Takut.
=3=
Aku membuka mataku perlahan. Manik mataku meneliti sekeliling.
Untuk kesekian kalinya aku terbangun bukan di sebuah kasur empuk mewah dengan
dinding di cat berwarna ungu dan hitam. Itu definisi dari kamarku.
“Ini di sekolah”
Aku mulai menyusuri lorong-lorong panjang ini. Berharap ada orang
yang aku kenal di sini. Pistol. Darah. Chunji. Changjo. Dokter.
Bagai sebuah foto yang digabungkan. Kenangan mengenai lima kata itu
muncul di hadapanku.
Aku menatap kaget ke arah UKS yang berukuran kecil itu. Seolah
sebuah film yang diputar ulang. Semuanya seolah pernah terjadi. Ya, terjadi di
hidupku.
Aku. Chunji. Dan Changjo.
Brakk. Tanganku seolah ditarik masuk ke dalam film itu.
“Changjo” aku memanggil takut sambil menatapnya. Aku yakin, sosok
di depanku ini adalah Changjo.
“Hyung” dia terkekeh kecil. “Kau tau? Aku menjadikannya sebuah
percobaan dan alat pemancing” aku membelalakkan mataku kaget. “Dan, kau akan
menjadi boneka ‘ikan’ku”
=3=
Aku bangun dengan keringat yang bercucuran dari pelipisku. Ini
mimpi. Kuharap Changjo tidak sejahat itu. Itu harapanku saat ini.
Kriett. Bunyi decitan pintu membuatku menoleh ke sumber suara.
Changjo. Tenangkan dirimu Changjo.
“Bukankah kau mnemophobia?” apa maksud pertanyaannya?
“Tapi, aku tidak amnesia”
Dia menyeringai ke arahku. “Manusia macam kau. Tidak pantas untuk
hidup” ia mengeluarkan pistolnya dari saku jasnya. “Lebih baik kau mati. Agar,
harta keluarga ada di tanganku”
Aku tahu ia sangat menginginkan harta keluargaku. Changjo dan aku
memang bukan saudara kandung. Namun, keluargaku menjadikan Changjo bagian dari
keluargaku. Tapi, harta keluarga tetap di tanganku. Itulah yang membuatnya
menjadi seperti ini. Menurutku seperti itu. Walaupun begitu aku tidak menyangka
jika dia bisa melakukan ini. Licik.
Bagaikan secepat angin berhembus. Tanganku yang beserta pistol
milik Changjo sudah tepat berada di pelipisku. Aku hanya bisa menahan napasku
saat benda besi dingin itu menyentuh pelipisku.
Jantungku berdegup dengan kencang. Napasku memburu. Aliran darahku
seolah berhenti. Aku masih tidak menyangka untuk ini.
=3=
“Chunji-ah saranghanda” aku memeluk Chunji dengan erat. Namun, kali
ini tidak ada balasan sedikitpun darinya. Aku yakin pasti ada yang tidak beres
dengannya.
“Byung” aku bergumam kecil menyahut. “Kita akhiri sampai di sini
eotte?”
=3=
“Kau bisa mengenang masa-masa indah heum?”
Akuyu berjenggit kaget. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku bergetar.
Pasti dia sedang tertawa. “Biarkan aku melakukan sesuatu dulu. Untuk memenuhi
janjiku”
Genggaman tangannya kian lama makin melemas. Aku hanya menghela
napas lega. Tidak. Ini belum berakhir.
“Baiklah”
Kurasa ia memang pria yang lembut. Namun, ada sesuatu di balik
sesuatu lainnya.
=3=
“Aku mengubur sebuah miniatur menara eiffel”
“Masalahnya buatku?”
“Carikan untukku”
=3=
Aku melihat denah yang di bikin oleh Chunji waktu itu. Untunglah
aku menyimpan denah itu jika tidak mungkin aku bingung apa yang akan aku
lakukan saat ini.
Kenapa di sebuah ruangan seperti ini? Apa dia memang menyimpannya
di sebuah kotak bukan di dalam tanah? Oh. Tolong jangan seperti ini. Ruangan
ini begitu sempit. Beruntung masih ada cahaya walaupun sangat redup.
Aku melihat sebuah miniatur menara eiffel tepat di depan kakiku.
Aku memungutnya sambil tersenyum manis. Aku janji, aku akan memberikan ini
padanya.
“Oh. Apa kau kesini karena aku? Manisnya”
“Chun-Chunji?”
Apa dia benar Chunji? Bukankah, Chunji tidak bisa bertemu denganku
lagi? kenapa ia sekarang ada di depanku dengan senyum kecil yang sangat manis
di bibirnya. Aku mulai untuk mendekatinya perlahan. Dan, aku menghela napas
pelan saat sudah sampai di depannya.
“Kematian dibalas dengan kematian. Byung” ini suara Changjo aku
yakin itu. “Jika tidak. Aku yang akan melakukannya Chunji-hyung. Tenang saja”
kulihat Chunji menyeringai kecil di bibirnya yang manis itu.
Seseorang katakan padaku aku ini semua hanya mimpi. Sebenarnya,
skenario apa yang sedang kalian lakukan terhadapku. Sungguh, skenario yang
kalian mainkan ini sangat indah terutama skenario yang di mainkan Chunji ya,
Lee Chan Hee.
“Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri” Chunji menjawab dengan
nada datar.
“Byunghee. Tatap aku” aku ingat. Hanya dia yang memanggilku dengan
sebutan Byunghee. Bukan L.Joe atau Joe ataupun Byunghyun melainkan Byunghee.
Hanya Byunghee “Dokter Lee”
Dokter Lee? Ayah Chunji. Aku ingat sekarang. Aku yang membunuh ayah
Chunji dengan tanganku sendiri. aku ingat sekarang. ‘Kematian dibalas dengan
kematian’
“Kau tidak merasakan phobia mu huh?”
Aku tersentak gugup. Aku setuju dengannya. Phobiaku tidak datang
lagi. bukankah, phobia susah untuk dihilangkan?
Bang. Letusan pistol menggema di telingaku. Aku yakin tepat di
punggungku pasti terkena peluru besi itu. ‘Kematian dibalas dengan kematian’.
Pedih. Sakit rasanya.
“Kau terlalu lama Chunji hyung”
Changjo. Aku salah mengiramu. Kukira kau memang tidak mau adu
fisik. Nyatanya fisik sekarang kau mainkan? Kau gila.
Aku tahu. Kau membenciku bukan? Semua yang kau lakukan ini hanya
sebuah skenario belaka bukan? Katakan padaku Lee Chan Hee.
“Kajja hyung. Dendammu sudah terbalas” Changjo meninggalkanku
berdua dengan Chunji yang masih memasang wajah datarnya.
Chunji sedikit membungkuk. Wajahnya yang manis mulai mendekati
wajahku. Ia mengecup kecil bibirku. Manis. “Saranghanda Byunghee. Mianhanda” ia
berbicara sedikit berbisik. Kuharap apa yang kudengar kali ini bukan skenariomu
Chunji-ah.
Aku memberikan miniatur menara eiffel itu padanya. Dia hanya
tersenyum kecil. Di balik mataku yang hampir terpejam aku bisa merasakan
pelukkan hangatnya merasakan bibirnya yang tersenyum manis di depanku. Aku
akui, aku ingin waktu menghentikan semua ini. Agar, aku bisa merasakan
kehangatannya seperti ini
“Mianhae”.
Aku juga minta maaf Chunji. Aku tahu, kau pasti marah padaku karena
aku telah membunuh ayahmu. Sungguh, kukira dia adalah om jahat yang akan
melukaimu. Aku minta maaf padamu. Ini, miniatur yang kau sembunyikan. Aku
senang bisa menemukannya. Aku menepati janjiku kan? Dengan ini, kuharap kau
memaafkanku. Tak apa jika aku mati. Selama kau bahagia karena telah membalaskan
dendammu padaku. Aku turut bahagia.
Aku tahu sekarang. Aku tidak terserang mnemophobia. Tapi, aku telah
masuk ke dalam perangkat kalian. Aku yakin itu. Yeah, aku hanya dimasuki kata
melupakan yang kalian berikan. Aku melupakanmu tidak kenangan bersamamu. Aku
yakin itu. sakit yang kurasakan bukanlah sakit karena phobia. Melainkan, sakit
karena aku merindukanmu. Menurutku begitu.
“Still love you. My angel” aku bergumam kecil saat mendengar
langkah sepatu yang kian menjauh.
Bang. “Aku masih mencintaimu Chunji”
Omake:
“Chunji hyung. Kau tidak dapat hidup seperti ini. Bukankah kekasih-
maksudku mantanmu itu yang membunuh ayahmu? Kumohon. Jangan siksa dirimu dengan
dendam yang kau punya” Changjo sedikit teriak.
Chunji hanya menghela napas kecil. Manik matanya mulai bosan. Ia
tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Membunuh balik? Bukankah itu jahat
untuknya. Lagipula sepertinya Byunghyun tidak bersalah.
“Bukankah kau sudah merancang semuanya?”
“Yeah” Changjo menyeringai ke arah Chunji. “Aku sudah merancang
semuanya. Hanya kau yang mau melakukannya atau tidak. Karena kau, adalah umpannya”
Chunji menyeringai kecil. Ia tahu tidak seharusnya dendam itu bisa
menguasai dirinya. Namun, inilah akhirnya. “Tentu saja” Chunji menatap Changjo
penuh curiga. “Apa rencananya?”
“Kita buat dia seolah mengalami mnemophobia”
FIN
A/N: tadinya pengen bikin
C.A.P yang ngebantuin Chunji soalnya perannya dapet banget gitu. Tapi, difikir
ulang. Changjo lebih nempel sama Chunji. Lagi pula Changjo sayang banget sama
Chunji hyung. Ya, jadi gini deh endingnya. LOVE IT.







0 comments:
Post a Comment