~0330~
Draco menghela napas untuk kesekian kalinya. Manik silvernya
menatap jalanan dihadapannya dengan datar. Ia masih mencoba untuk beradaptasi
tanpa sihir. Ya, karena ia memang memutuskan untuk tinggal di dunia muggle.
Tanpa ada satu orangpun yang mengenalnya.
“Draco”
Draco memejamkan matanya berusaha menghilangkan suara yang sangat
familiar baginya. Di dunia ini tidak akan ada orang yang mengenalnya kecuali.
Potter.
“Oke. Hentikan semua ini”
Draco menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi ia menutup kedua matanya
mengusir pemandangan yang sempat ia lihat. Yaitu, sosok mahluk Potter yang
berdiri tepat dihadapannya. Ini gila.
“Draco”
Draco hanya menatap Harry dengan tatapan yang mengartikan ‘kenapa
kau bisa di sini’. Walaupun, alasannya pergi meninggalkan Hogwarts dan segala
sihir yang ada adalah Potter satu ini. Namun, satu yang membuat ia benar-benar
rela melakukannya. Karena, ia tidak ingin bertemu dengan Harry Potter.
“Draco. Aku..”
Draco melepas perlahan tangan Harry yang sempat memeluk lengannya
seakan tak mau melepaskannya. Dengan cepat ia mengambil tas jinjingnya dan
pergi meninggalkan Harry dengan segala kesedihan yang telah ia buat.
~Missing~
“Dalam artian sebenarnya. Memang kau yang salah”
Draco terdiam berusaha mengendalikan emosi untuk tidak menyerang
anggota Slytherin di depannya atau lebih tepatnya memikirkan apa yang orang itu
katakan. Benarkah ini semua salahnya.
“Sekarang kau benar-benar merindukannya kan?”
“Oh, ayolah. Pangeran Slytherin”
Draco masih diam dalam posisinya. Tanpa peduli dengan bel yang
memanggilnya untuk segera memasuki kelas ramuan. Kelas di mana ia selalu
mengganggu Harry Potter kesayangannya. Kelas di mana, ia sangat tidak ingin
masuk untuk saat ini. Setidaknya, sampai ia tidak mengingat siapa Harry Potter
itu.
Seseorang tolong lemparkan mantra ‘obliviate’ pada Draco saat ini.
“Drake”
Theo dan Blaise menarik paksa lengan Draco untuk mengikuti ke kelas
ramuan. Tak peduli dengan umpatan dan tanda protes yang selalu Draco lemparkan
padanya. Yang ia tahu, seseorang harus menyelesaikan masalah aneh mereka
berdua.
~Alone~
Ini yang Draco impikan selama ini. Sendirian tanpa ada satu orang
pun yang akan mengganggunya. Menara astronomi. Ya, di sinilah Draco mendapatkan
ketenangan yang ia impikan. Tanpa ada seorang Harry Potter yang akan mengganggu
ketenangannya.
“Dray? Kau kah itu?”
Draco masih memejamkan matanya. Membuat kedua telinganya tidak
mendengar apapun selain suara angin yang berdesir di sekitarnya. Siapapun,
Draco tidak ingin melihat Harry untuk saat ini.
“Dray. Maaf”
Draco masih terdiam. Berusaha untuk tertidur dalam ketenangan yang
ada. Tanpa ia peduli dengan yang namanya Potter. Walaupun, hatinya meringis
setiap melihat seorang Cedric Diggory. Mungkin, ini rasanya dikhianati.
“Saat itu aku sedang kalut”
“Pergilah. Kau berat”
Walaupun Draco tidak membuka kedua matanya. Ia masih dapat
merasakan jika seseorang menjadikannya sebagai sebuah bangku tak hidup. Tidak
sopan.
“Tidak. sebelum kau mendengarkan ceritaku”
Draco memperlihatkan kedua manik silvernya perlahan. Datar. Tanpa ekspresi
sama sekali. Ia tahu pasti, saat ia membuka kedua matanya sudah pasti manik
emerald Harry yang pertama kali ia lihat.
“Aku bukan anak kecil yang butuh dongeng untuk mendapatkan
ketenanganku. Jadi, pergilah”
~I’m Sorry~
“Kau sudah dengar penjelasannya kan? Ia kalut. Lagipula ia tidak
mungkin mengucapkan itu. karena aku yakin ia mencintaimu”
“Aku setuju dengan Theo”
Blaise mengedipkan matanya kepada Draco yang sedari tadi diam tanpa
mengucapkan sepatah kata apapun. Bahkan, untuk bercerita segala hal tentang di
menara astronomi kemarin. Yang sedang ada di otak Draco hanya satu. Potter. Ia
tidak peduli bagaimana kedua teman anehnya tahu tentang hal di menara astronomi
kemarin.
“Jadi, kau ingin meminta maaf atas kesalah pahaman ini?”
Diam. Draco tidak menanggapi pertanyaan dari Theo. Sedangkan Blaise
hanya mengedipkan sebelah matanya pada Theo seolah mengatakan ‘sudah biasa’.
“Aku tahu. kau bertanya kenapa hanya Cedric yang tahu. benarkan?”
“Itu karena ia tidak mau membuatmu khawatir tentangnya bodoh”
“Lagipula Luna juga tahu tentang Harry saat itu bukan? Jangan
seolah-olah hanya Cedric yang tahu”
Hening.
“Oh. Ayolah. Jangan membuat semua ini menjadi dorama yang sangat
menyedihkan untukmu Drake”
“Oke oke. Terserah padamu Draco. Aku dan Blaise sudah memberikan
solusi. Bukan yang terbaik memang. Setidaknya, kami ada setiap kau membutuhkan
kami”
“Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu sekalipun ia sedang kalut”
Kali ini Theo dan Blaise yang terdiam mendengarkan setiap rentetan
kalimat yang meluncur dari kedua belah bibir Draco itu.
~0330~
“Tidak sekarang, Malfoy”
Cedric mendorong tubuh Draco dengan kasar. Membuat pemuda berambut
pirang platina itu tersungkur. Oh tidak, ini menurunkan derajat seorang Malfoy
nya.
“Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan?”
Draco tahu. Cedric dan Luna sedang menyembunyikan Harry-NYA.
Karena, memang ia tidak melihat mataharinya itu bersinar di permukaan. Tapi,
kenapa tidak si mudblood dan weasley yang menjaga pahlawannya.
“Oke. Sebelumnya aku meminta maaf karena seenaknya membawa anak
asrama Hufflepuff ke dalam asramaku. Ya, kau tahu Ravenclaw. Tapi, sebelumnya
aku ingin kau membaca perkamen yang dituliskan seseorang untukmu. Ya, kemarin
ia memberikannya padaku”
Luna. Gadis asrama Ravenclaw itu memainkan rambutnya setelah ia
memberikan perkamen itu kepada si Head Boy. Yang membuat sang Head Boy terdiam
datar menatap perkamen tersebut.
“Lupakan aku. Kita akhiri di sini Dray”
~0330~
“Tidak sopan jika aku yang menyatakan perasaanku padamu. Yang
membuat kita menjadi satu. Dan, dengan santai kau memutuskan hubungan yang
sudah lama kita jalin. Jika ingin putus seharusnya aku yang mengucapkannya
juga, bukan kau ataupun tulisan disebuah perkamen”
Draco meremas perkamen tersebut membuangnya entah kemana. Jemari
panjangnya menggeram kesal sebelum kepalan tangannya sampai di wajah Cedric.
“Kita lupakan semua ini Dray”
Draco menatap Harry yang entah sejak kapan sudah berdiri di
belakang Luna. Manik silvernya berkilat marah ke ara Luna dan Cedric.
“Anggap kita tidak saling mengenal”
“Bloody Hell Potter! Baiklah, jika itu yang kau mau. Kita berakhir
Potter. Berakhir”
Draco mendecih pelan sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan sebuah
keheningan dan air mata bagi Harry.
“Kita ke Muggle sekarang, Harry”
~0330~
Draco menatap pintu apartmentnya datar. Merasa bosan karena ia
tidak akan di izinkan mempublikasikan sihirnya keluar.
Membereskan apartment nya. Sudah. Dan, sekarang perutnya menjerit
kelaparan. Di mana ia harus mengisi perutnya. Ia kan masih baru di muggle. Dan
berakhir lah ia di sebuah tempat makan yang bernuansa klasik dengan alunan
musik yang membuat segala ketenangan menjadi perfect.
“Selamat Datang”
Draco terdiam mematikan jika suara yang ia dengar sekarang. Bukan
suara yang sempat ia dengar saat di halte tadi.
“Dray?”
Hancur sudah segala ketenangan yang sempat ia dapat. Sekarang bukan
ketenangan yang ia dapat tapi, sebuah masa lalu yang tidak mau ia ingat sama
sekali.
“Pesan apa”
Draco menatap menu yang di berikan Harry tanpa mau menatap kedua
manik emerald Harry. Sudah cukup seorang Harry Potter membuat hidupnya
menggila.
“Aku tidak jadi pesan”
=Mono Drama=
Harry duduk di pinggir ranjangnya. Memikirkan saat ia sudah kembali
ke Hogwarts Draco akan menyambutnya dengan suka cita. Namun, itu semua sudah
terhapus dari khayalannya. Membayangkan jika ia dan Draco dapat kembali bersatu
itu mustahil.
Harry bodoh. Kenapa harus kakinya patah. Dan membuatnya di opname.
Tapi, mau bagaimana lagi. tangannya juga terbakar ramuan yang ia racik sendiri.
Lebih bodohnya. Kenapa ia harus mengatakan hal seperti itu.
memangnya apa salahnya jika Draco tahu. Harry merutuki sendiri kebodohannya.
“Harry”
“Neville ada apa?”
“Tidak ada. Kau tahu tidak? saat kau dan Draco berakhir”
“Kenapa?”
“Semua nilainya bukan seorang Malfoy. Sifat keMalfoy an di dirinya
juga hilang. Luruskan lah masalah kalian. Draco terlihat lebih menyebalkan dari
sebelumnya”
“Itu bukan urusanmu”
“Ya terserah. Setidaknya, hanya kau yang dapat mengubah sifatnya
yang sekarang. mungkin, atau juga Astoria”
Harry tercekat. Kenapa nama Astoria harus dibawa-bawa. Dan, apa
maksud dari perkataan Neville itu. Namun, Harry masih tetap tenang.
“Selama kau tidak memberi tahu jika aku di sini, itu bukan masalah”
=0330=
Draco menatap trotoar di depannya. Tatapan matanya kosong. Bahkan,
sudah kesekian kalinya ia merunduk meminta maaf oleh orang yang tak sengaja
ditabraknya. Beruntung ia tidak menggunakan kendaraan.
“Dray”
Draco mengalihkan pandangannya dengan sebuah note kecil yang ada
ditangannya. Lebih tepatnya sebuah kertas kosong. Hanya sebuah benda yang
membuatnya seolah tidak mendengar seseorang yang memanggilnya.
“Dray. Kita harus bicara”
“Menyingkirlah. Kau menghalangi jalanku. Dan, jangan anggap kita
saling kenal”
Draco menyingkirkan bahu kecil Harry pelan. Mencoba untuk bersikap
arrogant dan tak peduli dengan keberadaan Harry.
“Please. Dray, I can’t”
“Jangan pernah memanggilku dengan panggilan seperti itu orang aneh”
Harry mengambil kesempatan yang ada, saat Draco menghentikan
langkahnya. Memeluk pemuda pirang yang lebih tinggi dengan sangat erat. Ia
tidak mau pemuda yang ada di pelukannya saat ini pergi menjauh darinya.
“Katakanlah”
Tak terasa Harry menjatuhkan bulir kristal dari kedua matanya,
membuat Draco sedikit tersentak menyadari ada isakan kecil dari belah bibir
Harry.
“Kenapa malah menangis. Kau ini bodoh atau apa huh?”
Draco melepaskan tangan Harry yang masih melingkar di pinggangnya.
Berbalik hanya untuk sekedar melihat keadaan Harry. Sedikit tak enak hati,
membuat pemuda manis ini meneteskan air matanya. Namun, mau bagaimana lagi.
“Katakan apa yang akan kau katakan. Aku tidak punya banyak waktu.
Cepatlah”
“I.. I love. You Dray more and forever”
“Hanya itu? Kau membuang waktuku orang aneh”
Draco merapatkan wajahnya dengan Harry. Tanpa ada aba-aba bibir
Draco sudah menyatu dengan bibir Harry. Walaupun sebentar Harry jantungnya
sudah berdebar cepat. Sensasi yang sudah lama tak dirasakan olehnya.
=Love is..=
“Kau benar-benar sangat aneh”
Draco menatap botol yang ia dapat dari Goyle. Bukan sebuah ramuan
aneh. Tapi, sebuah surat kaleng tanpa pengirim. Walaupun, tanpa pengirim Draco
tahu siapa penulis surat kaleng itu. Yang ia tidak tahu adalah. Kenapa ia masih
berharap dan menganggap jika sang penulis ingin kembali padanya.
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Menurutmu, apa ia masih mencintaiku”
“Come on. Drake, kau fikir tulisan ini hanya sebuah tulisan tak
berharga seperti coretan aneh di bukumu huh?”
“Sekarang, aku akan bertanya padamu untuk kesekian kalinya”
Draco menatap Blaise sinis. Ia tahu apa yang akan ditanyakan oleh
temannya yang suka mengedipkan sebelah mata kepadanya. Sudah tahu, ah bukan,
lebih tepatnya sudah hapal.
“Tidak. Aku tidak mencintainya”
“Tidak mau mengaku juga?”
Theo menunjukkan sebuah buku yang ternyata buku Draco. Dan, isinya
hanya nama Harry dan banyak catatan gila tentang Harry dengan pemilik buku itu.
Jika, dilihat lebih dekat akan ditemukan sebuah tulisan yang berbunyi ‘I can’t
let you go, bloody Potter’ dan ‘Come back to me Potter’.
“I love you my baby potty”
“Itu bukan aku yang menulisnya”
“Benarkah? Lalu siapa yang menulisnya? Aku? Atau Goyle atau mungkin
Blaise? Kau bodoh Malfoy”
“Jangan bohongi perasaanmu sendiri. Bisakah?”
Theo dan Blaise menatap Draco yang menunduk terdiam. Mereka tahu
jika Draco memang sangat menjaga sifatnya yang angkuh, dan tak peduli. Tapi,
tak perlu melakukan hal itu jika memang kasusnya menyangkut kata cinta.
“Dia kembali untukmu.
Tidakkah kau berfikir untuk kembali kepadanya juga?”
=0330=
“Jangan pernah menangis di depanku lagi”
“Jangan pernah tinggalkan aku”
“Apa lagi?”
Harry terdiam, kepalanya menganalisis apa yang dikatakan Draco.
Apanya yang apa lagi. Apa kata-kata Harry kurang bagi Draco.
“Apa lagi yang ingin kau katakan? Jika tidak ada. Anggaplah tadi
hanya sebuah perpisahan. Aku berharap tidak bertemu denganmu lagi”
“Jadikan aku yang special bagimu lagi”
Draco menatap Harry yang sudah bersujud di tanah. Ah, ini seperti
sebuah dorama yang sering ia lihat di televisinya.
Kepala dan hati Draco bertarung untuk beberapa saat. Dalam kamus
seorang Draco Malfoy. Jika sudah berakhir, semuanya tidak dapat kembali seperti
dulu. Tapi, bibir Draco masih mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh
Blaise.
Ia tidak mau membohongi perasaannya untuk kedua kalinya. Jika
memang ini kesempatannya untuk dapat bersama Harry, kenapa harus ia tolak.
Tapi, derajat Malfoy nya terlalu tinggi untuk luluh secepat ini.
Inikah yang dibilang Theo tentang derajat atau cinta yang sama besar. Ya,
sekarang ia merasakan apa yang Blaise dan Theo pernah katakan kepadanya.
Draco berjongkok tepat di depan Harry. Ia tidak peduli dengan nama
Malfoy-nya. Tangannya mengangkat wajah Harry yang sempat menunduk. Sedikit
menyunggingkan senyumnya. Ia sudah tidak sanggup untuk berbohong kali ini.
“Kisah kita berakhir di sini, Potter”
=FIN=






0 comments:
Post a Comment